Konservasi alam tidak berjalan satu jalur. Di lapangan, praktisi memakai dua pendekatan yang saling melengkapi: konservasi in-situ (melindungi spesies di habitat alaminya) dan konservasi ex-situ (melindungi spesies di luar habitat aslinya). Memahami perbedaan konservasi in-situ dan ex-situ, lengkap dengan contoh konservasi nyata dan reintroduksi satwa, membantu kita memilih strategi yang tepat untuk setiap kondisi di Bengkulu dan wilayah Sumatera.
Apa Itu Konservasi In-Situ?
In-situ berarti “di tempatnya”. Upaya pelestarian dilakukan langsung di habitat asli—taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, koridor satwa, hingga mangrove pesisir. Fokusnya menjaga ekosistem tetap berfungsi agar spesies bisa hidup, mencari makan, kawin, bermigrasi, dan berevolusi secara alami.
Contoh tindakan:
- Perlindungan kawasan (patroli, penghapusan jerat, batas kawasan jelas).
- Restorasi ekosistem (revegetasi lahan kritis, pemulihan mangrove/sungai).
- Mitigasi konflik manusia–satwa (kandang ternak aman, sirene penghalau gajah, manajemen sampah/pakan).
- Pengelolaan berbasis masyarakat (perhutanan sosial, ekowisata desa, pos pantau).
Kelebihan: menjaga proses ekologi utuh, biaya jangka panjang lebih efisien, dan memberi manfaat langsung bagi manusia (air, iklim, pangan).
Keterbatasan: rentan gangguan (perambahan, kebakaran, penyakit), butuh koordinasi lintas pihak dan pembiayaan berkelanjutan.
Apa Itu Konservasi Ex-Situ?
Ex-situ berarti “di luar tempatnya”. Spesies dipelihara di fasilitas terkontrol: kebun botani, bank benih, penangkaran satwa, pusat rehabilitasi, akuarium, kebun plasma nutfah. Tujuannya menyelamatkan stok genetik/populasi saat kondisi alam tidak aman (perburuan hebat, bencana, wabah, habitat hancur).
Contoh tindakan:
- Bank benih & kebun botani untuk tanaman langka sebagai “asuransi genetik” sekaligus sumber bibit reforestasi.
- Penangkaran satwa terancam (mis. jalak bali, kura-kura endemik) untuk menjaga keragaman genetik.
- Rehabilitasi satwa sitaan (kukang/trenggiling/burung paruh bengkok) sebelum dilepasliarkan kembali.
Kelebihan: memungkinkan perbanyakan cepat, riset medis-genetik, edukasi publik, dan cadangan bila populasi liar kolaps.
Keterbatasan: biaya tinggi, risiko inbreeding dan perubahan perilaku; wajib dikaitkan dengan pemulihan habitat bila ingin kembali ke alam.
Tabel Perbandingan Singkat
Aspek | In-Situ | Ex-Situ |
---|---|---|
Lokasi | Habitat asli | Fasilitas terkontrol |
Fokus | Ekosistem + spesies | Stok genetik/populasi |
Contoh | Patroli, restorasi, mitigasi konflik | Bank benih, penangkaran, rehabilitasi |
Kelebihan | Proses alam terjaga | Perbanyakan & riset cepat |
Batasan | Rawan gangguan di lapangan | Biaya tinggi, risiko perilaku |
Hubungan | Tujuan akhir | Penopang saat darurat |
Baca Juga: Restorasi Ekosistem, Kunci Melawan Perusakan Alam dan Perubahan Iklim
Kapan Memilih In-Situ atau Ex-Situ?
Gunakan tiga pertanyaan cepat:
- Apakah habitat masih layak?
Ya → utamakan in-situ (perlindungan kawasan + restorasi).
Tidak → ex-situ sementara sambil habitat dipulihkan. - Apakah ancaman akut pada populasi liar? (perburuan/wabah)
Ya → ex-situ untuk karantina/perbanyakan + intervensi lapangan. - Apakah target pelepasliaran jelas & aman?
Ya → rancang pipeline rehab → uji kesehatan/perilaku → pelepasliaran → monitoring.
Reintroduksi Satwa: Menghubungkan Ex-Situ ke In-Situ
Reintroduksi satwa adalah pelepasan individu yang dibesarkan/dirawat ex-situ ke habitat yang sudah dipulihkan dan cukup aman. Tujuannya menguatkan atau memulihkan populasi liar. Syarat penting:
- Habitat memadai (pakan, air, shelter, jalur jelajah).
- Ancaman terkelola (perburuan, jerat, konflik).
- Kualitas genetik & kesehatan terpantau (hindari inbreeding).
- Soft-release & monitoring: pelepasan bertahap, pemasangan penanda (tag/GPS), evaluasi pasca-lepas untuk adaptasi dan reproduksi.
Contoh skenario: satwa sitaan perdagangan ilegal (mis. kukang) direhabilitasi; saat sehat dan mandiri, individu yang lolos uji perilaku di-release ke blok hutan dengan koridor yang telah dipatroli dan dipulihkan vegetasinya.
Tantangan Etika & Kesejahteraan
- Stres penangkaran → butuh enrichment, pakan mendekati alami, minim interaksi manusia.
- Risiko penyakit → protokol karantina, pemeriksaan laboratorium.
- Risiko konflik → edukasi desa sekitar, manajemen ternak & sampah agar tidak memicu satwa mendekat.
Rekomendasi Praktis untuk Bengkulu & Sekitarnya
- Perkuat in-situ: restorasi lahan kritis, patroli warga, penghapusan jerat, pemetaan koridor satwa.
- Gunakan ex-situ secara tepat: rehabilitasi satwa sitaan & penangkaran untuk stok genetik, bukan untuk komersial.
- Siapkan reintroduksi yang bertanggung jawab: amankan habitat, libatkan masyarakat, siapkan monitoring jangka panjang.
- Edukasi & kolaborasi: sekolah–desa–BKSDA–kampus–NGO—gabungkan data kamera trap, riset, dan aksi lapangan.
Konservasi in-situ menjaga spesies di rumah alaminya, sementara ex-situ menjadi “asuransi genetik” saat kondisi alam belum aman. Keduanya bukan pilihan salah satu, melainkan strategi yang saling melengkapi. Ketika habitat dipulihkan dan ancaman terkendali, reintroduksi satwa menghubungkan dua pendekatan ini—mulai dari rehabilitasi, pelepasan bertahap (soft release), hingga monitoring jangka panjang.
Baca Juga: Mitigasi Konflik Manusia Satwa: Panduan Praktis untuk Desa di Sekitar Hutan