Dalam dunia konservasi, pendekatan tradisional sering kali fokus pada menyelamatkan spesies atau ekosistem secara keseluruhan. Namun, metode ini tidak selalu mempertimbangkan kesejahteraan individu satwa liar yang terlibat dalam proses tersebut. Di sinilah muncul konsep Compassionate Conservation, atau konservasi yang penuh welas asih.
Konsep ini menempatkan etika, empati, dan hak hidup satwa sebagai bagian penting dalam upaya pelestarian. Bukan hanya menyelamatkan spesies, tetapi juga menghargai kehidupan tiap makhluk, termasuk yang kadang dipandang sebagai pengganggu atau tidak penting bagi ekosistem.
Prinsip-Prinsip Utama Compassionate Conservation
Pendekatan ini didasarkan pada empat prinsip utama yang diusulkan oleh para pendukungnya:
- First, do no harm
Upaya konservasi tidak boleh menyakiti hewan. Ini adalah prinsip dasar yang juga digunakan dalam dunia medis. - Individuals matter
Setiap satwa dianggap memiliki nilai intrinsik, bukan hanya sebagai bagian dari kelompok. - Inclusivity
Mengajak semua pihak, baik manusia maupun non-manusia, untuk hidup berdampingan. - Peaceful co-existence
Menghindari konflik dan kekerasan dalam interaksi antara manusia dan satwa.
Perbedaan dengan Konservasi Tradisional
Konservasi tradisional cenderung mengutamakan data populasi, kestabilan ekosistem, atau manfaat ekonomi. Dalam pendekatan ini, penangkapan, relokasi paksa, dan bahkan pembunuhan terhadap hewan dianggap sebagai hal yang bisa diterima, selama bertujuan untuk menjaga spesies yang dilindungi.
Sebaliknya, compassionate conservation menolak tindakan seperti euthanasia, pembasmian, atau penggunaan jerat dan perangkap yang menyakitkan. Alih-alih menghukum satwa yang dianggap “bermasalah”, pendekatan ini mencari solusi yang lebih manusiawi dan harmonis.
Tantangan dalam Implementasi
Tentu saja, ada banyak tantangan dalam menerapkan konservasi berbasis welas asih. Beberapa di antaranya:
- Ketidakseimbangan ekosistem akibat tidak dikendalikan populasi invasif.
- Konflik manusia-satwa, seperti serangan predator terhadap ternak.
- Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya etika dalam konservasi.
Namun demikian, banyak penelitian menunjukkan bahwa pendekatan ini bisa menghasilkan solusi jangka panjang yang lebih stabil secara sosial dan ekologis.
Compassionate Conservation dalam Konteks Indonesia
Di Indonesia, pendekatan ini masih tergolong baru. Banyak praktik konservasi masih menggunakan metode penangkapan massal, pemusnahan satwa liar invasif, atau pelepasliaran tanpa memperhatikan kesiapan psikologis hewan tersebut.
BKSDA Bengkulu dapat memainkan peran penting sebagai pelopor perubahan ini, terutama dengan:
- Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya perlakuan etis terhadap satwa.
- Menerapkan pelepasliaran satwa dengan pendekatan rehabilitasi menyeluruh.
- Menghindari relokasi paksa dan mempertimbangkan alternatif berbasis komunitas.
- Melibatkan tokoh adat dan masyarakat lokal dalam mitigasi konflik satwa.
Studi Kasus: Mitigasi Konflik Tanpa Kekerasan
Beberapa contoh sukses pendekatan compassionate conservation antara lain:
- India: Konflik dengan gajah diselesaikan dengan jalur khusus migrasi satwa.
- Afrika Selatan: Program steril tanpa pembunuhan untuk mengendalikan populasi babun.
- Australia: Rehabilitasi kanguru yang terjebak di wilayah urban tanpa pemusnahan.
Praktik-praktik ini membuktikan bahwa pelestarian tidak harus menyakiti.
Compassionate Conservation bukan hanya sebuah pendekatan etis, tetapi juga solusi jangka panjang yang mengintegrasikan konservasi dengan nilai-nilai kemanusiaan. Bagi Indonesia, pendekatan ini memberikan kesempatan untuk memperbarui sistem konservasi menjadi lebih inklusif dan etis, sejalan dengan budaya lokal yang menghargai kehidupan.
Dengan menerapkan pendekatan ini, kita tidak hanya menjaga keanekaragaman hayati, tetapi juga menciptakan dunia yang lebih manusiawi—bagi semua makhluk.
Baca Juga: Restorasi Ekosistem, Kunci Melawan Perusakan Alam dan Perubahan Iklim